Teori belajar Behaviorisme dan kognitivisme menurut parah ahli


TUGAS MATA KULIAH PROLEMATIKA PEMBELAJARAN MATEMATIKA

  1. Untuk memahami teori belajar Behaviorisme dengan penekanan perubahan pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan stimulus juga respon. Ada beberapa penganut paham behaviorisme berikut ini.
  1. Teori belajar Ivan Pavlov dan Eksperimennya
    Ivan Petrovich Pavlov (1849- 1936) Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ia mempelopori munculnya proses kondisioning responden (respondent conditioning) atau kondisioning klasik (classical conditioning).
    Ivan Pavlov melakukan penelitian terhadap anjing dimana Pavlov melihat selama pelatihan ada perubahan dalam waktu dan rata-rata keliuarnya air liur pada anjing. Pavlov mengamati jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing secara otomatis meskipun tanpa latihan. Dalam percobaan ini daging disebut stimulus yang tidak dikondisikan (unconditioned stimulus) dank arena air liur yang keluar akibat adanya daging tersebut kelaur secara otomatis maka respon tersebut disebut respon yang tidak dikondisikan (unconditioned response). Kalau daging bisa menimbulkan air liur pada anjing tanpa latihan tidak demikian yang terjadi pada stimulus yang lain misalnya bel. Karena stimulus tersebut tidak menimbulkan respon maka disebut stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen Pavlov jika stimulus netral (bel) dipasangkan dengan daging (unconditioning stimulus) dan dilakukan secara berulang-ulang maka stimulus netral berubah menjadi stimulus yang terkondisikan dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respon anjing seperti ketika ia melihat daging. Proses ini dinamakan clasical conditioning. (Baharudin, 2007 ; 58)
    Dari eksperimen dengan mengunakan anjing tersebut Pavlov menemukan hukum pengkodisian yaitu;
    1. Pemerolehan (acquisition) yaitu membuat pasangan stimulus netral dengan stimulus tidak bersyarat berulang-ulang hingga muncul respon bersyarat atau biasa disebut acquisition training (latihan untuk memperoleh sesuatu)
    2. Pemadaman (extinction) setelah respon terbentuk, maka respon akan tetap ada selama masih diberikan rangsangan bersyarat yang dipasangkan dengan rangsangan yang tidak bersyarat. Kalau rangsangan tersebut diberikan dalam jangka waktu yang lama tanpa ada penguat maka besar kemungkinan respon bersyarat tersebut menurun atau padam.
    3. Generalisasi dan dikriminasi dimana respon bersyarat dapat dikenakan pada kejadian lain dengan situasi yang mirip gejala ini disebut generalisasi stimulus dan begitu juga sebaliknya dapat juga dilakukan pembedaan atau diskriminasi yang dikondisikan dapat timbul melalui penguatan dan pemadaman.
    4. Conditioning tandingan (counter conditioning), pada kondtioning jenis ini respon bersyarat yang khusus digantikan respon bersyarat yang lain yang baru dan bertentangan, tidak saling cocok dengan respon bersyarat sebelumnya misalnya respon bersyarat berupa perasaan tidak suka diganti dengan respon bersyarat perasaan suka sehingga reaksi tersebut dapat disebut dengan incompatible atau saling mengganti.
  2. Teori belajar Edward Lee Throndike dan Eksperimennya
    Edward Lee Thorndike (1874-1949) Seorang pendidik & psikolog berkebangsaan Amerika, mengemukakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat, sedang respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Teori belajar yang dikemukakan Thorndike sering disebut dengan teori koneksionisme atau teori asosiasi.
    Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respon perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaanpercobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (errors) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah trials and errors learning atau selecting and connecting learning.
  3. Teori belajar Skiner dan Eksperimennya
    Skinner (1989) yang datang kemudian merupakan penganut paham neo-behaviorist yang mengalihkan dari laboratorium ke praktik kelas. Skinner mempunyai pendapat lain lagi, yang ternyata mampu mengalahkan pamor teori-teori Hull dan Guthrie. Hal ini mungkin karena kemampuan Skinner dalam menyederhanakan kerumitan teorinya serta memperjelaskan konsep-konsep yang ada dalam teorinya tersebut. Menurut Skinner, deskripsi antara stimulus dan respons untuk menjelaskan parubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson tersebut adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respons yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respons yang dihasilkan. Sedangkan respons yang diberikan juga menghasilkan berbagai konsekuensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.
    Oleh karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan pemahaman terhadap respons itu sendiri, dan berbagai konsekuensi yang diakibatkan oleh respons tersebut (lihat bel-Gredler, 1986). Skinner juga memperjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit, sebab alat itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya, apabila dikatakan bahwa seorang siswa berprestasi buruk sebab siswa ini mengalami frustasi akan menuntut perlu dijelaskan apa itu frustasi. Penjelasan tentang frustasi ini besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain. Begitu seterusnya. Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkin teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap pekembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti teching machine, Mathetics, atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respons, dan faktor penguat (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori Skinner.
  4. Teori Belajar Gutrie dan Eksperimennya
    Ia berpendapat bahwa tingkah laku manusia dapat diubah, tingkah laku baik dapat diubah menjadi buruk dan sebalkinya tingkah laku buruk dapat diubah menjadi baik. Teori Gutrie berdasarkan atas model penggantian stimulus satu ke stimulus yang lain. Tiga metode pengubahan tingkah laku ang dikemukakan Gutrie antara lain:
    Metode respon bertentangan. Misalnya jika anak takut terhadap sesuatu, misalnya kucing, maka letakkan permainan yang disukai anaka dekat dengan kucing. Dengan mendekatkan permainan anak pada kucing lambat laun anak tidak akan takut lagi pada kucing.
    Metode membosankan. Misalnya seorang anak mencoba-coba mengisap rokok, minta kepadanya untuk mengisap rokok terus sampai bosan, setelah ia bosan ia akan berhenti merokok dengan sendirinya.
    Metode mengubah tingkah laku. Jika anak bosan belajar, ubahlah lingkungan belajarnya dengan suasana lain dengan yang lebih nyaman dan menyenangkan, sehingga ia merasa tertarik untuk belajar.
  5. Teori belajar Hull dan Eksperimennya
    Clark hull sangat terpengaruh terhadap teori evolusi charles Darwin. Semua fungsi tingkah laku mengemukakan bahwa semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup. Karena ituu kebutuhan biologis dan pemuasan biologis menempati posisi sentral.
    Implikasi logisnya adalah guru harus merencanakan kegiatan belajar mengajar berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap motivasi belajar yang terdapat pada siswa. Dengan adanya motivasi, maka belajar merupakan penguatan. Makin banyak belajar makain banyak reinforcementm makin besar motivasi memberikan respon yang menuju keberhasilan belajar.
  6. Kelemahan dan Kekurangan konsep belajar Behaviorisme
    1. KELEBIHAN
      • Membiasakan guru untuk bersikap jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar
      • Metode behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang menbutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
      • Guru tidak banyak memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika menemukan kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan
      • Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa , suka mengulangi dan harus dibiasakan , suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
      • Mampu membentuk suatu perilaku yang diinginkan mendapatkan penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif, yang didasari pada perilaku yang tampak.
      • Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang kontinue dapat mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika anak sudah mahir dalam satu bidang tertentu maka akan lebih dapat dikuatkan lagi dengan pembiasaan dan pengulangan yang kontinue tersebut dan lebih optimal.
      • Bahan pelajarn yang disusun secara hierarkis dari yang sederhana sampai pada yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu menghasilkan sustu perilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.
  • KEKURANGAN
      • Sebuah konsekuensi bagi guru, untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap
      • Tidak setiap mata pelajaran bisa menggunakan metode ini
      • Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid.
      • Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif
      • Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa
      • Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru.
      • Penerapan teori behavioristik yang salah dalam suatu kondisi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah guru melatih dan menetukan apa yang harus dipelajari murid sehingga dapat menekan kreatifitas siswa. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan meghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga inisiatif siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak bisa diselesaiakn oleh siswa.
  1. Berbeda dengan Teoti belajar Behaviorisme yang memandang belajar sebagai kegiatan mekanisme antara stimulus respon, kegiatan kognitif belajar adalah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat dan menggunakan pengetahuan. Ada beberapa penganut paham kognitivisme berikut ini.
    1. Teori belajar Piaget
      Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan yakni
        1. Asimilasi,
        2. Akomodasi, dan
        3. Equilibrasi (penyeimbangan).
      Proses asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif kedalam situasi yang baru. Equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
      Bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip-prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru), inilah yang disebut proses asimilasi. Jika seseorang diberi sebuah soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, yang dalam hal ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar sesorang tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan. Proses inilah yang disebut ekuilibrasi proses penyeimbangan antara dunia luar dan dunia dalam tanpa proses ini, perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur (disorganizedi).
      Dalam hal ini, dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya mungkin mempunyai kemampuan equilibrasi yang berbeda. Seseorang dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai informasi ini dalam urutan yang baik, jernih, dan logis. Sedangkan rekannya yang tidak memiliki kemampuan equilibrasi sebaik itu akan cenderung menyimpan semua informasi yang ada secara kurang teratur, karena itu orang ini juga cenderung mempunyai alur berfikir ruwet, tidak logis, berbelit-belit.
      Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa, yang dalam hal ini Piaget membaginya menjadi empat tahap, yaitu tahap sensori-motor (ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun), tahap Pra-operasional (2/3 sampai 7/8 tahun), tahap operasional konkret (7/8 sampai 12/14 tahun), dan tahap operasional formal (14 tahun atau lebih).
      Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori-motor tentu lain dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (pra-operasional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke-tahap yang lebih tinggi (operasional konkret dan operasional formal). Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berfikirnya. Dalam kaitan ini seorang guru seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan anak didiknya ini, serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
      Guru yang mengajar tetapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan ini akan cenderung menyulitkan para siswanya. Misalnya saja, mengadakan konsep abstrak tentang matematika kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk mengkonkretkan konsep tersebut, tidak hanya akan percuma tetapi justru akan lebih membingungkan para siswa itu
    2. Teori belajar Gagne
      Teori belajar Gagne menyatakan bahwa perkembangan sebagian besar bergantung pada peristiwa yang disebut dengan belajar (Gredler, 2011). Menurut Gagne keterampilan, apresiasi dan penalaran manusia dengan semua variasinya, juga harapan, aspirasi, sikap dan nilai-nilai manusia merupakan peristiwa belajar. Tiga prinsip dari pembelajaran yang efektif menurut Gagne dalam tugas latihan adalah:
        1. memberikan pembelajaran mengenai seperangkat tugas-tugas komponen yang diarahkan untuk membangun tugas akhir,
        2. memastikan bahwa setiap tugas komponen dikuasai, dan
        3. sekuensi tugas komponen untuk memastikan transfer yang optimal ke tugas lain (Gredder, 2011).
      Proses kognitif dan pembelajaran menurut Gagne adalah adanya transfer belajar, keterampilan cara belajar, dan pengajaran pemecahan masalah. Jadi, implikasinya bagi belajar dan pembelajaran adalah menggunakan metode belajar problem solving, adanya perbedaan individu mengharuskan guru memahami konsep perubahan individu dan pembelajarannya.
    3. Teori belajar Bruner
      Bruner (1960) mengusulkan teorinya yang disebut free dicovery learning. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kretif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aliran (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) antara yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa di bimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran misalnya, siswa pertama-tama tidak menghapal definisi kata kejujuran tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata kejujuran.
      Lawan dari pendekatan ini disebut belajar ekspositori (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh khusus dan konkret. Dalam contoh diatas, maka siswa pertama-tama diberi definisi tentang kejujuran dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mecari contoh-contoh konkret yang dapat menggambarkan makna dan kata tersebut. Proses belajar ini jelas berjalan secara deduktif.
      Di samping itu, Brunner mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif di kelas. Menurut pendapat Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriptif. Misalnya, teori belajar memprediksikan beberapa usia maksimum seorang anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan penjumlahan.
    4. Teori belajar Ausubel
      Menurut Ausubel (1968) siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut pengatur kemajuan (belajar) (advance organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa (Degeng I Nyoman Sudana, 1989:115). Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
      Ausubel percaya bahwa advance organizers dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni:
        1. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa;
        2. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa saat ini‖ dengan apa yang akan dipalajari siswa;
        3. Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
      Oleh karena itu, pengetahuan guru tehadap isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan demikan seseorang guru akan mampu menemukan informasi, yang menurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif, yang mewadahi apa yang akan diajarkan selain itu logika berfikir guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berfikir yang baik, guru akan kesulitan memilah-milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi materi ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami.

Daftar pustaka 


0 Response to " Teori belajar Behaviorisme dan kognitivisme menurut parah ahli"

Posting Komentar

Terimah kasih